Mungkin
anda pernah merasakan kekesalan di saat anda menelepon seseorang dalam keadaan
yang sangat penting dan bersifat darurat, namun tanpa alasan yang jelas di
ujung telepon hanya ada jawaban, “Telepon yang anda tuju sedang tidak aktif
atau berada di luar service area, cobalah beberapa saat lagi?”. Demikian diantara
jawaban yang biasa kita dengar ketika menghubungi telepon yang tidak bisa dihubungi.
Dilain
kesempatan suatu ketika dalam mengendarai motor, anda di paksa parkir oleh
seorang polisi. Kemudian sang polisi menanyakan berbagai surat yang diperlukan,
akan tetapi karena suatu hal semua surat yang biasanya anda bawa kebenaran
tertinggal dirumah tanpa disadari sebelumnya. Pada saat itu sepintas yang kita
butuhkan adalah surat kendaraan yang tertinggal di rumah, lalu dengan sigapnya
kita mengambil ponsel anda dan menelepon isteri atau siapa saja yang mungkin
ada di rumah anda, dengan harapan masalah anda segera dapat diatasi tanpa
masalah. Bisa juga anda menelepon seseorang teman atau keluarga yang juga
anggota polisi yang dianggap dapat memberikan bantuan untuk lepas dari jeratan
masalah atas kealpaan kita dalam mengendarai sepeda motor.
Disaat
saat itu muncul kegundahan karena kita sangat memerlukan pertolongan orang yang
kita telepon, karena anggapan kita memang dia yang bisa menjadi harapan kita
untuk suatu keperluan. Namun sebenarnya persoalan yang muncul bukan karena
telepon yang tidak aktif, atau karena pulsa yang tidak mencukupi akan tetapi
kebutuhan kita yang belum disadari sepenuhnya.
Disaat
kita menekan tombol-tombol untuk menelepon seseorang sesunguhnya ada sinyal
yang kita perlukan terlebih dahulu, bukan karena HPnya yang tidak aktif atau
karena surat surat kendaraan yang tertinggal. Kebutuhan kita saat itu hanya ada
seketika kita memerlukan sesuatu untuk suatu keperluan. Keperluan juga
sebenarnya tidak kita pahami sebelumnya atau justru yang kita butuhkan bukan
seperti yang kita pikirkan.
Pikiran
kita memahami suatu kebutuhan sekedar apa yang pernah kita lihat dan kita
rasakan. Diluar itu sesunguhnya manusia sangat terbatas untuk memahaminya.
Menarik
untuk di analisa perihal tersebut jika dihubungkan antara kebutuhan yang
sebenarnya dengan keinginan kita yang biasa diucapkan dalam do’a kita. Kita
senantiasa berdo’a tetapi kita tak memahami kebutuhan dan keinginan kita
sendiri. Dalam kasus diatas sebenarnya yang kita butuhkan adalah menghindari
kejadian tersebut supaya tidak menemui masalah, sebab itu kebutuhan ini hanya
ada ketika kecenderungan anggota badan kita untuk menjauhi peristiwa tersebut
jauh sebelum terjadi supaya dapat di hindari. Artinya telepon yang tidak aktif
karena kebutuhan kita sebenarnya terletak pada esensi kemudahan atau menghindari
hal tersebut sebelum terjadi. Esensi ini berarti kita membutuhkan Allah (Hai
manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah yang Maha Kaya
(tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.. QS. Al Fathir:15) dan bukan membutuhkan manusia atau bentuk barang atau berhala berhala
lain yang kita anggap dapat menyelesaikan problem kehidupan.
Bagi
kalangan penganut rasionalis maka psikologi yang terbangun dalam dirinya akan
melahirkan pembelaan kausalitas dengan pertimbangan pemikiran ilmiah. Argumen
yang ada karena kealpaan kita tidak membawa surat-surat penting dalam mengendarai
kendaraan bermotor. Untuk menutupi kelapaan tersebut tidak jarang segala cara
akan ditempuh tanpa pertimbangan kebenaran yang akan merugikan orang lain,
karena tujuan hanya mengatasi masalah yang sedang dialami. Padahal berpikir
yang paling rasional adalah menyadari segala kekurangan akal budi berdasarkan
nilai-nilai ketuhanan dan tidak merugikan orang lain sebagai wujud nyata dari
nilai-nilai kemanusiaan.
Padahal
dalam konsep Islam, pemakaian do’a yang disampaikan dapat mencukupi segala kekurangan
dan mengatasi masalah jauh sebelum datangnya persoalan. Sebab segala informasi
yang akan datang sudah dapat dipelajari dalam ruang lingkup kajian pada istilah
“Islam rahmatal lil ‘alamin”. Namun manusia yang mengaku rasional sering
melupakan bahwa ia dapat berpikir atas apa yang akan terjadi berdasarkan
informasi sebelumnya.
Informasi
yang ditemui baik dalam bentuk teks (al Qur’an dan Hadits) ataupun gejala alam
dan sosial sebenarnya tak mungkin dapat dipahami sebelum informasi sampai
kepadanya. Sebuah contoh; proses penguburan kedalam tanah atas seseorang yang
meninggal dunia tak mungkin ada, sebelum informasi burung gagak yang memberikan
contoh mematuk, menggali tanah untuk menguburkan temannya yang terbunuh setelah
berkelahi pada masa Nabi Adam dan puteranya.
Do’a sebagai gelombang suara
Pada
hakikatnya pengetahuan manusia tak akan ada tanpa ada informasi sebelumnya. Buktinya
seorang bayi tak akan mengenal warna atau bentuk apapun sebelum sang bayi
diperkenalkan oleh lingkungan atau orang tuanya. Artinya manusia hanya mendapat
pengetahuan setelah ia mempelajari atas simbol-simbol informasi yang mereka
terima melalui penginderaan. Karena simbol simbol informasi tersebut jumlahnya
sangat banyak, sementara kemampuan manusia terbatas, maka manusia hanyalah
mendapatkan ilmu sedikit sekali. Sebab itu pungsi do’a sebenarnya adalah
sebagai bukti penghambaan kepada Sang Kholiq dan kerelaan manusia untuk mengakui
segala keterbatasannya. Dalam hadits dikenal dengan pengertian bahwa do’a
adalah intisarinya ibadah. Disisi lain do’a juga sebagai sebuah sistem yang
ghaib untuk mengantisipasi kemungkinan yang terjadi atau menutupi kekurangan
manusia dalam berpikir untuk mengatasi beragam persoalan yang bakal terjadi
dikemudian hari.
Kalau
demikian, seandainya seseorang yang mengaku dirinya sebagai bagian dari hamba
Allah, kemudian dalam aplikasi aktivitasnya sedikit saja meremehkan tentang
kekuatan do’a maka sesungguhnya ia termasuk orang-orang yang sombong. Hal ini
disebabkan manusia seperti ini tidak menyadari sepenuhnya atas kekurangan atau
kelemahan dirinya. Sebuah kesalahan besar selama ini sebagian mengetahui bahwa
berdo’a sebaiknya setelah dilakukan usaha yang maksimal, padahal berdo’a
seharusnya dilakukan sebelum pekerjaan dilakukan. Sebab tak satupun aktivitas dalam
ajaran Islam tanpa diawali dengan berdo’a, bahkan do’a senantiasa dilakukan dua
kali dalam satu perbuatan, yakni sebelum dan sesudah pekerjaan dilakukan.
Jika
kita belajar dari do’a sebagaimana analisis diatas dalam kaitannya dengan
sinyal telepon, maka manusia modern juga tak akan mengenal sinyal gelombang suara di udara sebelum diperkenalkan
kepada manusia melalui pelajaran atau informasi tentang do’a dalam teks al
Qur’an dan Hadits. Seorang yang berdo’a akan menggunakan gelombang suara untuk
disampaikan kepada siapa dan apa yang dido’akannya. Akan tetapi do’a
disampaikan bukan langsung kepada orang sesuai dengan tujuannya tetapi melalui
pusat operator yakni Allah SWT sebagai pengendali dan pemilik sinyal.
Dalam
konteks telepon dan do’a maka pertalian keduanya mempunyai kesamaan dalam
proses pemakaiannya. Dimana unsur telepon identik dengan sholat sama pungsinya
dengan alat, materi do’a yang di sampaikan sama halnya dengan materi pembicaraan
telepon dengan sinyal yang sama namun beda tujuan. Do’a langsung kepada Allah
SWT sementara materi pembicaraan menelepon langsung kepada orang yang
diinginkan, walaupun semua semata mata atas izin Allah sebagai pemilik dan
pemelihara tunggal.
Menurut
teori gelombang, panjangnya gelombang berada pada frekwensi 0.5 hz sampai 100 hz.
Jika dhubungkan dengan menelepon seseorang dengan kondisi psikologi seseorang
maka saat menelepon rata-rata pada frekwensi 8 hingga 10 hz. Pada gelombang ini
seseorang yang sedang ditelepon ada dalam keadaan aktif dengan frekwensi yang
relatif banyak gangguan secara teknis. Sehingga tidak jarang interaksi dalam
gelombang suara sering mengalami gangguan.
Sementara
dalam realisasi do’a dan zikir akan bekerja pada frekwensi 0,5 sampai 4 hz,
dimana kondisi seseorang ada pada kondisi yang tenang dan khusu’. Itulah
sebabnya jika kondisi kita senantiasa sadar diri dan hanya mempunyai hubungan
dan harapan kepada Allah SWT maka berbagai kesulitan secara alami namun atas
izin Allah akan mendapat berbagai kemudahan dalam menghadapi berbagai
persoalan.
Secara
teknis dengan bekerja pada gelombang delta (0,5 sampai 4 hz) maka semua
persoalan akan di hadapi secara tenang dan penuh perhitungan secara matematis
maupun secara psikologi. Namun sebaliknya jika kita bekerja dengan kondisi
gelombang dalam diri kita pada posisi diatas gelombang tersebut, maka kesan dan
penampilan aktivitas sehari-hari penuh dengan emosi dan sering dengan
pertimbangan pemikiran yang salah.
Sebab
itu kedekatan seseorang dengan Allah SWT akan menjaga dirinya dari radiasi
jahat. Bahkan tak jarang sebuah persoalan yang akan datang dapat
diselesaikannya sebelum masalah masalah tersebut datang di hadapannya. Artinya
di sini kecerdasan spiritual seseorang akan bekerja melebihi prilaku kausalitas
yang terjadi. Sebab itu dalam kasus kegundahan telepon yang tidak aktif bukan
persoalan prinsip, sebab polisi yang memberhentikan kendaraan kita sudah
ditelepon Allah untuk tidak bertugas di jalan yang kita lewati. Begitulah
kecanggihan do’a tak dapat dikalahkan oleh pemikiran rasional dan teknologi
mutakhir sekalipun, sebab itu do’a adalah senjatanya orang beriman.
(Ahirman
Rasyid)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar