Judul tulisan ini bukanlah bermaksud untuk
menggali jurang pemisah antara kedua istilah tersebut ataupun sebagai tema
kritikan social. namun tulisan ini hanya mencoba untuk memahami secara lebih
baik dan adil, tentang “Si Perut Kenyang” (yang kemudian kita sebut dengan
orang kaya, orang yang sudah makmur atau sejenisnya) dan “Si Perut lapar” (yang
kemudian yang kita sebut dengan orang fakir/miskin, buruh, dhuafa dan
sejenisnya). Pemahaman yang baik artinya mencoba membangun persefsi pemikiran
yang benar untuk kebaikan manusia, alam secara sosiologis dan kepatutan. Sementara pemahaman
yang adil artinya sebagai upaya meletakkan pondasi pemikiran pada jalur yang
benar sesuai dengan fakta dan hakekat yang sebenarnya.
Lalu apa dan bagaimana sebenarnya yang di
butuhkan oleh “Si perut Lapar” dalam hubungannya dengan kebutuhan mereka.
Menurut konteks pengertian teori Maslow yang dibutuhkan secara mendasar oleh
“Si Perut lapar” adalah kebutuhan terhadap kebutuhan materi berupa kebutuhan
sandang, pangan dan papan yang disebutnya dengan kebutuhan fisiologis. Kemudian
secara berurutan kebutuhan kaum miskin selanjutnya adalah rasa aman, cinta,
penghargaan dan aktualisasi diri.
Jika teori tersebut benar semestinya setelah
terpenuhinya kebutuhan fisiologis maka secara parallel (dengan sendirinya) akan
mendapat kebutuhan kedua yakni rasa aman, lalu akan muncul rasa saling
mencintai dan penghargaan kemudian pada puncaknya akan mendapatkan aktualisasi
diri. Namun kenyataannya terhadap fakta yang ada bahwa terpenuhinya kebutuhan
sandang pangan dan papan menurut teori Maslow tersebut tidak serta merta
mengakibatkan lahirnya keamanan atau rasa aman. Tetapi justru yang membuat
kekacauan lebih dominan dilakukan oleh “Si Perut Kenyang” yang notabenenya
menyelesaikan kebutuhan dasar menurut teori tersebut.
Bisa saja karena belum terpenuhinya kebutuhan
dasar berupa fisik (sandang, pangan dan papan) maka “Si Perut lapar” mencuri
seekor ayam atau atau mencuri sebuah coklat, akibatnya rasa aman bagi seorang
“Si Perut Kenyang” sedikit terganggu. Tetapi bagaimana kita dapat memahami
teori ini jika tindakan mencuri masih juga dilakukan oleh mereka yang sudah
memiliki seluruh kebutuhan dalam teori tersebut, lagi pula akibatnya akan
dirasakan oleh banyak orang bahkan alampun menjadi korban.
Tanpa disadari mindseat tentang teori
kebutuhan dasar Maslow ini sudah cukup akrab dalam kehidupan kita sehari-hari.
Tidak hanya melekat pada kaum yang “Perutnya Lapar” tetapi juga sudah
menggiring pemikiran pada kaum yang “Perutnya Kenyang”, akibatnya terjadilah
pembenaran pemikiran secara alami dalam interaksi kehidupan social dan bukan
berdasarkan pemikiran yang benar. Sebab itu jika paradigma teori ini sudah
tertanam kepada akal pembuat kebijakan atau sudah menjadi khas pemikiran
orang-orang yang dapat mempengaruhi secara lebih dominan, maka keadilan
distribusi, konsumsi dan produksi tidak munkin dihasilkan dari pemikiran seperti
ini. Wajar saja jika pemberian subsidi BBM dianggap oleh mereka sebagai suatu
kebenaran, padahal problema ini bermula dari privatisasi objek sumber daya
kepada pihak asing yang dasarnya kapitalis atau juga karena “jebakan” hutang
luar negeri yang semankin membengkak. Akibatnya sebagian produk legalitas
berupa peraturan ataupun UU yang ada akan lahir sebagai pembenaran atas
kepentingan dan kebutuhan dasar yang tidak benar.
Lain halnya jika teori hirarki kebutuhan dasar
yang menyangkut kehidupan manusia secara keseluruhan dibangun berdasarkan
kemaslahatan manusia dan alam semesta. Manusia dalam pengertian ini dimaksud
untuk seluruh manusia termasuk “Si Perut Kenyang” maupun “Si Perut Lapar” dan
lingkungannya (berbeda dengan teori Maslow, kebutuhan dasarnya hanya untuk “Si
perut Lapar” saja). Dalam teori kemaslahatan tersebut hanya dapat dicapai
dengan memenuhi kebutuhan dasar dalam persefektif keseimbangan dan keselamatan
dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Konsep kebutuhan dasar manusia secara
hirarkis, yakni; pertama, kebutuhan darurat (kebutuhan pada tingkat
primer yang harus pertama dimiliki) yang terkait dengan eksistensi hidup
manusia itu sendiri berupa pemeliharaan agama, pemeliharaan jiwa, pemeliharaan
akal, pemeliharaan keturunan dan pemeliharaan harta. Ketiadaan kebutuhan
darurat ini menyebabkan terganggunya eksistensi manusia, bahkan akan merusak
lingkungan/alam lain yang pada akhirnya akan menimbulkan masalah ekonomi. Kedua,
kebutuhan hajiyat (kebutuhan sekunder). Ketiadaan kebutuhan hajiyat ini
tidak menyentuh eksistensi hidup manusia hanya menyebabkan kesulitan hidup saja
dan tidak menimbulkan masalah pokok. Ketiga, kebutuhan tahsiniyah yakni
berupa kemewahan hidup. Tingkat kepentingannya berada setelah dua kebutuhan
tersebut.
Sekali lagi ditengah masyarakat Indonesia yang
majemuk dari berbagai sektor kehidupan, seringkali “Si Perut Lapar” dianggap sebagai awal problem sosial dan
beban negara?. Kalau ini memang benar lalu, benarkah kaum “Si Perut Kenyang”
justru lebih baik dan telah memberikan kontribusi besar terhadap kemakmuran
sebuah bangsa?. Tentunya sangat tidak adil!. Sebab, problema ekonomi justru
disebabkan oleh mereka yang telah kenyang dengan semua aneka konsumsi dengan
status “pemakan segalanya”. (Ahirman Rasyid)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar